Pernikahan. Mendengar satu kata ini
membawa pemikiranku menerawang jauh ke masa depan tentang arti sebuah kehidupan
bersama. Tak pernah ku bayangkan saat usia baru menginjak 23 tahun, ku
berbicara tentang arti sebuah pernikahan dan segala rasa yang menyertainya.
Bahasan tentang pernikahan ini mulai muncul ketika dia –yang usianya 3 tahun
diatas ku—meminta ku untuk menjadi istrinya di awal perkenalan rasa. Kaget,
sungguh kaget aku mendengarnya. Kata pernikahan hanya sesekali saja melintas di
benakku, dan begitu cepat menghilang, karena aku menikah bukan prioritas
pertamaku setelah selesai kuliah. Selalu ada semacam mekanisme pertahannan diri
ketika sesekali terbayang kata pernikahan, selalu ku buang jauh-jauh dan tak
mau memikirkannya. Masih terlalu jauh menurutku. Ya, pernikahan. Sebuah kata yang masih asing dipikiran.
Sejak kecil ku bermimpi bisa menjadi
wanita karir. Seorang wanita mandiri yang tiap hari ke kantor dengan setelan
blezer, tentengan tas yang berisi laptop dan beberapa berkas, serta kunci mobil
di dalamnya. Ya itulah mimpiku. Menjadi wanita karir dengan kemandiriannya
sebelum menikah. Mimpi ini masih akan terus ku kejar, karena kesuksesan wanita menurutku
adalah dia yang mempunyai penghasilan sendiri setiap bulannya. Bukan untuk
mencari nafkah keluarga, tetapi mencari kegiatan dan mewujudkan mimpi orang
tua.
Pernikahan bukan suatu perkara
sepele menurutku, walaupun dia telah memberikan penjelasan tentang
hadist-hadist pernikahan dan pahala yang besar ketika apa yang diharamkan
menjadi halal setelah menikah. Memang tidak ada yang salah dengan itu semua,
semua orang ingin memperoleh pahala yang besar, tetapi hati ini masih tidak
siap untuk berbicara mengenai pernikahan. Setiap muslimah menginginkan imam
yang mampu membawa dirinya beserta anak-anaknya ke jalan-Nya, dan aku melihat
itu didirinya. Tak ada yang perlu diragukan lagi apa yang ada di dirinya. Dia
imam yang sempurna untukku. Tetapi untuk menjadi yang halal sekarang, aku belum
siap. Ketidaksiapan itu tak mampu terangkai dalam kata. Mungkin sebagian kecil ketidaksiapan
itu adalah bayangan tanggung jawab setelah ijab qabul itu terucap. Tanggung jawab
kepada suami, bukti baktinya ke suami, ke anak, dan sebagainya. Mental ini
masih terlalu rapuh untuk membayangkan hidup jauh dari orang tua, membangun
keluarga kecil sendiri, dengan tanggung jawab yang tidak kecil.
Menikah memang ada dalam rencana
hidupku, tapi tidak untuk saat ini. Dua tahun lagi adalah waktu yang ideal
menurutku untuk hidup bersama dengan orang suami yang ku sayang. Ketika aku
sudah bisa sedikit membalas apa yang diberikan orang tua ku sejak lahir, bisa
melihat mereka tersenyum akan karir yang telah ku capai dan berakhir bahagia
dengan menerima menantu –kamu– sebagai jodoh hidupku. Kebahagiaan dengan
kesempurnaan hidup yang kurangkai dalam taman impianku. Pengertian dan
kesabaran adalah pintaku kepadanya saat ini. Pengertian akan masih belum siap
nya mental, dan kesabaran untuk menanti kesiapan mentalku. Mungkin nampak
begitu egois, namun ku mau dirinya lah yang nantinya menjadi imam hidupku.
Ya Robb.. persatukan rasa, pemikiran,
hati, dan keinginan kami dalam satu waktu yang tepat untuk meraih kebahagiaan
bersama selamanya dunia dan akhirat. Aamin..
(26-09-2012/15:26)
undang-undang ya mbaakkk :D
BalasHapussyarate tetep gawe skck....
BalasHapus