Rabu, 26 September 2012

Pernikahan itu......


Pernikahan. Mendengar satu kata ini membawa pemikiranku menerawang jauh ke masa depan tentang arti sebuah kehidupan bersama. Tak pernah ku bayangkan saat usia baru menginjak 23 tahun, ku berbicara tentang arti sebuah pernikahan dan segala rasa yang menyertainya. Bahasan tentang pernikahan ini mulai muncul ketika dia –yang usianya 3 tahun diatas ku—meminta ku untuk menjadi istrinya di awal perkenalan rasa. Kaget, sungguh kaget aku mendengarnya. Kata pernikahan hanya sesekali saja melintas di benakku, dan begitu cepat menghilang, karena aku menikah bukan prioritas pertamaku setelah selesai kuliah. Selalu ada semacam mekanisme pertahannan diri ketika sesekali terbayang kata pernikahan, selalu ku buang jauh-jauh dan tak mau memikirkannya. Masih terlalu jauh menurutku. Ya, pernikahan.  Sebuah kata yang masih asing dipikiran. 

Sejak kecil ku bermimpi bisa menjadi wanita karir. Seorang wanita mandiri yang tiap hari ke kantor dengan setelan blezer, tentengan tas yang berisi laptop dan beberapa berkas, serta kunci mobil di dalamnya. Ya itulah mimpiku. Menjadi wanita karir dengan kemandiriannya sebelum menikah. Mimpi ini masih akan terus ku kejar, karena kesuksesan wanita menurutku adalah dia yang mempunyai penghasilan sendiri setiap bulannya. Bukan untuk mencari nafkah keluarga, tetapi mencari kegiatan dan mewujudkan mimpi orang tua.

Pernikahan bukan suatu perkara sepele menurutku, walaupun dia telah memberikan penjelasan tentang hadist-hadist pernikahan dan pahala yang besar ketika apa yang diharamkan menjadi halal setelah menikah. Memang tidak ada yang salah dengan itu semua, semua orang ingin memperoleh pahala yang besar, tetapi hati ini masih tidak siap untuk berbicara mengenai pernikahan. Setiap muslimah menginginkan imam yang mampu membawa dirinya beserta anak-anaknya ke jalan-Nya, dan aku melihat itu didirinya. Tak ada yang perlu diragukan lagi apa yang ada di dirinya. Dia imam yang sempurna untukku. Tetapi untuk menjadi yang halal sekarang, aku belum siap. Ketidaksiapan itu tak mampu terangkai dalam kata. Mungkin sebagian kecil ketidaksiapan itu adalah bayangan tanggung jawab setelah ijab qabul itu terucap. Tanggung jawab kepada suami, bukti baktinya ke suami, ke anak, dan sebagainya. Mental ini masih terlalu rapuh untuk membayangkan hidup jauh dari orang tua, membangun keluarga kecil sendiri, dengan tanggung jawab yang tidak kecil.

Menikah memang ada dalam rencana hidupku, tapi tidak untuk saat ini. Dua tahun lagi adalah waktu yang ideal menurutku untuk hidup bersama dengan orang suami yang ku sayang. Ketika aku sudah bisa sedikit membalas apa yang diberikan orang tua ku sejak lahir, bisa melihat mereka tersenyum akan karir yang telah ku capai dan berakhir bahagia dengan menerima menantu –kamu– sebagai jodoh hidupku. Kebahagiaan dengan kesempurnaan hidup yang kurangkai dalam taman impianku. Pengertian dan kesabaran adalah pintaku kepadanya saat ini. Pengertian akan masih belum siap nya mental, dan kesabaran untuk menanti kesiapan mentalku. Mungkin nampak begitu egois, namun ku mau dirinya lah yang nantinya menjadi imam hidupku.

Ya Robb.. persatukan rasa, pemikiran, hati, dan keinginan kami dalam satu waktu yang tepat untuk meraih kebahagiaan bersama selamanya dunia dan akhirat. Aamin..

(26-09-2012/15:26)

2 komentar: