Minggu, 17 Juli 2011

Petualangan di Kampung Idiot yang Menawan

Kampung idiot adalah label yang disematkan oleh para jurnalis yang meliput keadaan kampung ini. Mendengar label yang disematkan tersebut, sangat miris rasanya. Ternyata di kabupaten yang terkenal dengan kesenian Reognya ini ada beberapa penduduknya yang kurang beruntung yang bisa dikatakan “berkumpul” dalam satu wilayah yang tersebar dalam beberapa desa. Pemberitaan di media elektronik yang semakin gencar tentang kampung idiot ini, menggelitik hati saya untuk pengunjunginya untuk melihat bagaimana keadaan disana secara langsung apalagi setelah mendengar telah diresmikannya Rumah kasih sayang oleh Menteri Sosial sebagai wadah untuk melayani dan mensuplai kebutuhan makan untuk saudara-saudara kita yang kurang beruntung ini serta pembekalan keterampilan guna membantu kondisi keuangan mereka yang compang-camping.

Dan gayung pun bersambut. Pepatah yang mengatakan bahwa bila ada kemauan disitu ada jalan ternyata benar. Sore itu, Rabu 13 Juli 2011 sekita pukul 17.15, saya menghubungi mas Subekhi. Beliau adalah wartawan RCTI yang bertugas di wilayah Ponorogo-Pacitan. Perkenalanku dengan beliau bermula saat aksi ngamen puisi ku saat kelas 2 SMA sebagai sarana untuk menguatkan mental yang dibuat oleh para pembinaku. Saat itu kami disuruh membawakan puisi dari instansi ke instansi, bermula dari Diknas, Kantor Bupati, DRD, Polres, dsb. Dan saat itulah mas Subekhi meliputnya bersama dengan wartawan-wartawan lain. Di sms yang kutujukan pada mas Subekhi sore itu hanya menanyakan kabar. Dan beliau bilang pada saya kalo baru pulang dari desa Krebet, habis ngliput dari Krebet. Mendengar kata krebet, hatiku langsung sumringah dan penasaran dimana tepatnya desa itu. Dulu sebenarnya pernah saya bersama: Icha, Ethies, Dwi, Deta, Ecy, Yasin, Nino, dan Didik. Misi kami saat itu adalah survey dimana lokasi desa yang banyak masyarakatnya yang menderita keterbelakangan mental, tetapi rencana kami tidak tepat sasaran. Kami tidak menemukan tempat yang dimaksud tetapi kami sempat berbincang dengan kepala desa Sidodadi. Sidodadi merupakan salah satu desa di kawasan krebet, tetapi masih di wilayah dataran rendah, padahal masyarakat yang banyak menderita keterbelakangan mental masih diatas gunung sana. Karena semua tidak mengetahui dimana jalan menuju desa Sidowayah, akhirnya kami menghentikan langkah kami di desa Sidodadi tersebut.

Kembali ke ke topik utama. Mas Subekhi pun memberitahukan alamat desa tersebut. Kuutarakan niat ku bahwa sebenarnya saya ingin kesana dari dulu, tapi ga ada teman kesana. Dan beliau pun menawariku untuk ikut meliput bersamanya besok pagi. Tanpa berfikir panjang, langsung ku-iya-kan ajakan tersebut. mas Subekhi menyuruhku membawa anak ayam untuk diberikan kepada orang yang disana, memberi uang sangat tidak mendidik katanya. Sempat bingung juga sih saat beliau berkata seperti itu. Saat itu keadaan sudah jam 8 malam, rumah ga ayam, dan besuk harus berangkat pagi jam 8, dimana aku harus mencari anak ayam?, akhirnya saya meminta izin kepadanya untuk tidak membawa anak ayam dengan alasan tersebut, dan beliau pun memakluminya. Kepastian kami untuk berangkat besuk pagi jam 8 dan ketemuan di pertigaan kerun ayu pun sudah fix. Dari situ saya baru terlintas, sepertinya kalau mengajak teman labih asik. Kuhubungi Maria, tapi dia di Solo. Sempat mau mengajak mas Avin, tetapi aku sungkan. Akhirnya aku mengajak Hayu (pacarnya dek Agam) dan dia pun mau. Malam itu, aku tidur dengan perasaan yang amat sangat bahagia, tak sabar menunggu hari esok.

Pagi menjelang, persiapan pun sudah kulakukan. Pukul 07.30 saya sudah rapi, tinggal menunggu kedatangannya Hayu. Sempat panik juga sih saat sudah pukul 8 tetapi Hayu belum datang juga. Tak sms juga ga ada respon. Aku berusaha menenangkan diri, dan tak samapi 5 menit Hayu pun datang. Tanpa membuang waktu, kami langsung berangkat menuju pertigaan kerun ayu karena waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 8.10. Aku ga mau mas Subekhi yang menunggu, mending aku yang mengunggu. Dalam penungguan kami, aku sangat terkejut ketika dihampiri oleh seorang yang pernah ku kenal wajahnya. Berlagak sok ga kaget, aku senyam-senyum menyambutnya. Setelah berbincang menanyakan kabar, aku baru ingat ternyata itu teman SD ku. Namanya Kharis Ahmadi, agamis banget orangnya.

Sekitar pukul 9 akhirnya mas Subekhi datang. Sebelum berangkat beliau menyuruh kami untuk membeli air mineral dan camilan, dan kami pun menurutinya. Setelah perbekalan kami cukup, akhirnya kami bertiga cap cus ke arah barat menuju kecamatan Jambon. Beliau sempat berpesan bahwa yang di depan yang mahir bawa motor ya, soalnya medannya sedikit berat. Sang ayam yang ada di dalam kardus pun ikut menemani perjalanan kami. Dan  Hayu yang kebagian bawa kardus yang berisi ayam itu!hehehe…  Sedikit agak kendandapan mengikuti laju kendaraannya mas Subekhi, lumayan cepat, sedangakan aku tak terbiasa mengendarai dengan cepat. Sekitar 15 menit perjalanan, kami sampai di pasar Jambon, lalu sampai di pasar krebet, lalu masuk desa krebet, dan berhenti di balai desa Sidoharjo. Mas Subekhi memberitahu kami kalau mampir dulu disini, nyari data. Hampir satu jam aku dan Hayu duduk di dalam kantor desa mengunggu mas Subekhi menjalankan tugasnya, yaitu wawancara kepada perangkat desa setempat. Rasa penasaran kami ingin segera melihat bagaimana keadaan kampong idiot secara langsung pun semakin menyeruak. Waktu berjalan sangat lama. Disini kami juga sempat dikira wartawan RCTI, padahal kita kan cuma numpang ikut!hehe.. Dan akhirnya sekitar pukul 10.15 kami meninggalkan kantor desa tersebut.

Ditengah perjalanan menuju dusun Sidowayah, mas Subekhi yang selalu memacu motornya di depan motor kami sedikit menepi dan mengengok ke arah kami. “Bentar ya, mau ngambil gambar dulu” katanya. Kami pun mencari tempat yang teduh untuk memarkir kendaraan kami dan mengekor mas Subekhi  ke ladang ketela pohon yang ada di bawah jalan. Disana kami menemui satu keluarga: bapak, ibu, anak, dan cucu nya mengupas ketela pohon. Didepan mereka ada tumpukan ketela pohon yang belum dikupas dan yang telah dikupas, di depan mereka ada hamparan tegal yang lumayan luas dan panas dengan sekiratan sepertiga ketela yang belum dipanen. Tempat mereka mengupas ketela pun sangat sederhana, hanya tumpukan daun kelapa sebagai pelindung dari panas. Mereka duduk di bawahnya dan saling bersenda-gurau. Sepertinya pekerjaan ini sudah tidak asing lagi bagi mereka. Mereka terlihat terampil sekali mengupasnya. Mas Subekhi mulai melancarkan aksinya, tanya ini tanya itu, ambil gambar ini itu, dan akhirnya kami berpamitan pada keluarga tersebut denagn ucapan terima kasih dan kami melanjutkan perjalanan.

Aku dan Hayu tak pernah tahu kemana saja kami akan mencari berita. Mas Subekhi tak menceritakan rencana perjalanannya dan kami pun enggan untuk bertanya. Kami disini hanya ikut menemani sang wartawan mencari berita dan melihat bagaimana keadaan nyata kampung idiot tersebut. Selepas naik dari tegal (ladang) ketela pohon tersebut, kami menuju motor masing-masing. Nyali ku sempat ciut ketika menatap jalan menanjak persis dihadapan  mataku. Sempat ragu apakah aku bisa melewati jalan ini. Tapi Hay uterus menguatkan hatiku, dan Bismillahirohmanirokhim,,, gigi satu kumasukkan dan menaklukkan jalan menajak tersebut. Dan Alhamdulillah, bisa terlewati dengan lancar. Jalan yang kami lewati pun sudah semakin mengecil, berbatu, dan berkelok-kelok. Memang kawasan Sidowayah ini adalah kawasan yang berada digunung padas dan berbatasan dengan Badegan. Setiap belokan jalan memberikan kejutan tersendiri untukku yang belum pernah memacu motorku di medan yang sesulit ini. Tapi dengan Bismillah, aku pasti bisa. Sekitar 5 menit perjalanan, kami berhenti ke rumah warga untuk menanyakan dimana rumah Kamituo berada. Dan tak jauh dari situ, akhirnya kami menemukan rumah Kamituo tersebut. Turunan tajam menjadi tantangan tersendiri menuju rumah Kamituo tersebut.

Sempat kaget ketika memarkirkan motor di depan rumah pak kamituo tersebut, dentungansuara  keras menggema dari rumahnya. Saya semakin penasaran dengan suara tersebut, seperti suara musik tapi sangat keras. Dan ternyata setelah kami masuk ternyata beliau sedang memutar VCD aktraksi sirkus gajah di dengan menggunakan LCD proyektor. Sempat bertanya-tanya juga sih, ko di desa ini punya LCD. Ku memutar mataku, mengawasi setiap detai rumah milik bapak muda ini, sunguh perbuatan yang tidak terpuji!hehehe.. Rumah yang lumayan bagus bila dibandingkan dengan rumah disamping kiri dan kanannya. Terbuat dari batu bata namun tanpa plester, berlantai tanah, kursi tamu yang ada di pojok depan menyatu dengan ruang keluarganya, dua buah ruangan kamar di sebelah kanan kursi tamu, dan ruangan panjang di sebelah kiri kursi tamu. Sebenarnya rumah bapak ini sangat sederhana, satu rumah yang terbagi menjadi 3 ruangan inti. Yang membuat aku dan Hayu tertegun ketika bapak ini mengambil notebook axioo dari dalam kamarnya guna memaparkan program kerja yang telah dilaksanakan untuk menuju Sidowayah bangkit. Kebetulan Bapak Kamituo ini adalah salah satu anggota forum Sidowayah bangkit yang mempunyai program kerja meningkatkan kondisi masyarakat sidowayah dari berbagai segi. Memberi pelatihan keterampilan, program kambing bergilir untuk membantu meningkatkan kondisi perekonomian masyarakatnya, program Sidowayah terang dengan Pembangkit Lisrtik Tenaga Surya (PLTS), dsb. Hal lain yang membuat aku dan Hayu saling menatap dan tersenyum adalah ketika istri bapak kamituo tersebut mengambil hairdryer dari dalam laci lemari di ruang keluarga dan membawanya ke kamar. Tak kami sangka, ternyata maju juga disini, ada yang punya alat pengering rambut segala, padahal kami tak punya!hehehe… Sekitar 30 menit kami berada di dalam rumah tersebut, dan perjalanan pun dilanjutkan.

Saat itu sekitar pukul 11 siang. Laju roda  motor kami menggiring kami ke rumah mantan kepala dusun Sidowayah yang letaknya tidak lumayan jauh dari rumah bapak Kamituo tadi, tetapi karena medannya yang berkelok-kelok, jadi terasa jauh. Disana kami sudah disambut tiga orang anggota forum yang berkaos sama. Rumah mantan kepala dusun ini sudah bisa dibilang bagus bila dibanding rumah sekitarnya. Dindingnya sudah terbuat dari batu-bata, berkeramik, ada sofa, buffet, dan perabot kecil penghias buffet. Disini Mas Subekhi mengutarakan keinginannya untuk meliput: orang yang keterbelakangan mental berat, orang yang keterbelakangan mental ringan yang mempunyai keterampilan menganyam (mbah Waginem), dan kambing yang diberikan kepada masyarakat secara bergilir tersebut. sekitar 5 menit berdiskusi yang mana dulu yang dikunjungi, akhirnya kami ke rumah orang yang keterbelakangan mental klasifikasi berat. Secara beriringan, 5 motor menuju rumah orang tersebut. Kami ditemani 5 orang anggota forum, termasuk bapak kamituo. Perjalanan dimulai. Ditengah teriknya sinar matahari, kami menuju rumah mbah (saya tidak tahu namanya, jika anda melihat liputan kampong idiot di Seputar Indonesia Akhir Pekan hari minggu (17 Juli 2011), mbah tersebut adalah orang yang diwawancara).

Sungguh ironis keadaan dirumah tersebut. Gelap dan kotor. Mbah tersebut sudah tua, suaminya sudah meninggal, dan hidup bersama anak cucunya. Salah satu anaknya adalah Wagino (kalo ga salah) yang menderita keterbelakangan mental berat, beliau sudah dewasa tapi tidak bisa apa-apa. Hanya duduk di teras rumahnya, tanpa bisa berkata-kata dan berjalan. Sesekali hanya tersenyum saat melihat aku duduk yang berjarak sekirar 1 meter. Beliau hidup sangat tergantung pada ibunya, mulai dari makan, mandi, dsb.  Sekitar 20 menit mas Subekhi meliput dan mewawancarai mbah tersebut. Sembari menunggu mas Subekhi, aku bertanya pada cucunya mbah itu yang masih kelas 1 SD. Dan baru kusadari ternyata anak kecil tersebut sepertinya menderita tuna rungu ringan. Hal ini terbukti dengan minta diulangi lagi pertanyaan yang kuajukan kepadanya. Kasihan anak ini. Ketika pengambilan  gambar dan wawancara dirasa cukup kami pamit pulang. Sebelum kami pamit, mas Subekhi meminta saya untuk memberikan ayam yang telah dibawanya dari rumah untuk mbah ini, dan akhirnya kami pamit. Perjalanan pun dimulai lagi.

Seperti sebelumnya, Aku dan Hayu tak pernah tahu mau kemana lagi, kami hanya menurut saja. Jalan berbatu, berdebu berkelok-kelok kami lewati. Medan yang cukup sulit untukku. Hingga di tengah perjalanan, Hayu tak minta untuk turun ketika gas motor saya tidak kuat lagi memutar roda saat tanjakan tajam, berliku, dan berpasir. Saat itu saya sempat panik, dan bapak-bapak forum pun juga terlihat mengkhawatirlkan aku. Saat itu kebetulan kami ber 8, dan hanya aku dan Hayu yang cewek. Dengan sangat hati-hati dan sedikit kepanikan, akhirnya aku bisa menuntaskan tantangan jalan tersebut, Alhamdulillah. Legaaa,, tapi was-was juga, nanti pulangnya gimana ya???, tapi masalah nati pulangnya gimana, tidak ku pikirkan dulu, nanti pasti ada jalan. Tak jauh dari tanjakan extreme tadi, kami menuju jalan sempit dengan kiri kanan diapit ladang, dengan jalan khas pegunungan yang sempit dan berbatu, akhirnya kami sampai juga di halaman mushola yang sederhana.

Waktu sudah menunjukkan pukul 12.20 ketika kami memarkirkan kendaraan di halaman di depan mushola tersebut. Mushola tersebut sangat-sangat sederhana dengan sebelah kanannya adalah kamar mandi umum dan tempat wudhu denagn sumber air yang terus mengalir dari tanah. Hawa yang panas seketika menjadi dingin dan sejuk ketika ku mengambil air wudhu dan sholat dzuhur di mushola tersebut. Setelah sholat, aku duduk menghampiri Hayu yang telah duduk manis di pangkal pohon jati yang telah di tebang. Benar-benar suasana desa banget, damai dan tenang. Orang-orang yang kebetulan lewat di depan kami menyapa dan menghampiri kami dengan sangat ramah. “Monggo mbak kendhel”, “Monggo mbak pinarak”, “Pripun mbak, wilujeng?”,,,keadaan yang tak pernah kujumpai di kota Malang. Agak lama kami bertahan disini. Aku dan Hayu memang sengaja menjauh dari Mas Subekhi yang sedang melakukan sesi wawancara. Kami asik ngobrol dengan orang yang kebetulan duduk di dekatku. Aku banyak bertanya mengenai dusun Sidowayah ini yang ternyata sudah sangat amat sering didatangi wartawan untuk diliput. Sesi wawancara selesai, tapi pengambilan gambar belum selesai. Mas Subekhi asik sendiri dengan handicam-nya ketika para anggota forum duduk melingkar menikmati suguhan teh hangat dari warga yang tinggal disekitar mushola tersebut.

Ketika teh yang ada di gelas sudah habis, rombongan kami beranjak dari tempat yang sangat teduh dengan angin yang semilir tersebut. Kali ini kami tidak menggunakan motor, kami berjalan kaki menuju lokasi berikutnya karena lokasinya tidak begitu jauh katanya. Dengan semangat empat lima, kuayunkan kaki ini melewati jalan setapak dekat ladang, menyebrang sungai, melintasi ladang, dan akhirnya kami menemukan rumah penduduk persis di bawah tempat kami berjalan. Di bawah kami, ada sekitaran 4 rumah penduduk yang nampak genting hitam dan pemandangan khas dusun Sidowayah, yaitu gaplek (ketela pohon yang dikupas dan dijemur). Tepung gaplek atau yang lebih dikenal dengan sebutan tiwul adalah makan sehari-hari penduduk dusun sidowayah ini. Harga beras yang mahal membuat mereka mengkonsumsi tiwul sebagai pengganti beras. Kondisi tanah pegunungan yang kering dan tandus tidak memungkinkan penduduk sekitar untuk menanam padi, alhasil mereka menanam ketela pohon yang bisa hidup dilahan kering dan tidak membutuhkan banyak air. Sehingga tidak keran ketika banyak dijumpai gaplek di halaman dan genting rumah mereka.

Jalan yang kami lewati menuju rumah mbah Waginem (penganyam tikar mendong) menurun, sehingga mudah kami lalui dengan jalan kaki. Sempat kecewa ketika sampai di rumah mbah Waginem yang ternyata rumahnya terkunci. Akhirnya kami dan rombongan memutuskan untuk turun ke bawah melewati sungai menuju rumah penduduk yang diberi sumbangan kambing. Sambutan masyarakat disana sangat hangat. Saat itu kami melewati depan rumah warga yang kebetulan sedang bersantai di depan rumah, beliau menawari kami untuk mengambil degan yang berbuah banyak. Dengan malu-malu, para bapak-bapak forum menerima tawaran tersebut, tapi mereka bilang nanti dulu habis ini. Disitu kami bertemu mbah Waginem, legaaaa rasanya, orang yang dicari-cari dari kemarin akhirnya ketemu. Karena kami terlanjur di bawah, mas Subekhi memutuskan untuk mengambil gambar di rumah warga yang medapatkan bantuan kambing dulu baru nanti ke rumah mbah Waginem. Sungguh tercengang ketika kami melihat atap depan rumah warga tersebut yang tersusun dari daun jati yang sudah mengering. Temboknya pun hanya dari bilik compang-camping yang ada sebagian ruangan yang tinggi biliknya ga sampai atap, dan berlubang sana-sini. Sungguh keadaan yang sangat memprihatinkan. Tak kujumpai kasur di rumah ini, hanya ambeh yang berlapis sak putih bekas tempat beras sebagai pengganti kasurnya. Aku salut dengan mereka, nampak dari wajah dan tutur katanya bahwa mereka sangat mensyukuri keadaan yang serba kekurangan ini, sehingga jatuhnya mereka sangat bisa menikmati hidupnya.

Selesai mengambil gambar dengan setting kandang kambing beserta kambingnya, kami berjalan kembali melewati rumah mbah yang menawari kami kelapa muda. Ternyata 4 orang bapak-bapak anggota forum tadi sudah berpesta dengan kelapa mudanya. Mereka sengaja menyisakan beberapa buah kelapa untuk kami, dan kami pun ikut larut dalam pesta kelapa muda tersebut. Panas-panas minum kelapa muda,,oooh segarnya… J. Tapi saat itu mas Subekhi malah sibuk sendiri mengambil gambarnya sendiri sebagai kata-kata terakhir untuk liputannya. Kami terus menikmati segarnya air kelapa muda yang langsung dipetik dari pohonnya dengan sesekali tertawa lepas mendengar pembicaraan bapak-bapak forum dan tuan rumah.

Selesai pengambilan gambar ditempat itu, kami kembali ke atas. Kembali menyeberangi sungai dan naik ke atas. Tiba di depan rumah mbah waginem, kami disambut dengan anyamannya. Beliau mempersilahkan kami masuk ke dalam rumahnya sembari beliau tetap menganyam tikar mendong. Tak menyia-nyiakan waktu, mas Subekhi mulai beraksi dengan kamera dan beberapa pertanyaan untuk mbah Waginem. Karena teriakan dari dalam rumahnya yang mempersilahkan Aku dan Hayu masuk, akhirnya kami masuk ke dalam dan melihat mbah Waginem menganyam dengan jari terampilnya. Sudah menjadi kebiasanku ketika bertamu dirumah orang, memutar mata dan mengamati apa yang ada di dalam rumahnya.. hehehe. Disini saya tercengang, bagaimana mbah Waginem bisa hidup hanya di rumah bilik ukuran sekiran 3x3 meter, seukuran kamarku. Disitu saya melihat dipan yang juga berfungsi sebagai kursi tamu, di sudut kanan ada tungku masak dan kayu, dan disebelahnya lagi ada ruang kecil bersekat kain, mungkin itu tempat Mbah Waginem menyimpan peralatan masaknya. Sungguh ga bisa membayangkan, bagaimana bila aku hidup dalam kondisi seperti Mbah Waginem. Ketika Mas Subekhi sudah cukup mengambil gambarnya, kami serobongan pamit untuk pulang. Dan kami pun dipersilahkan Mbah Waginem dengan sangat ramah.

Langkah kami kami dilanjutkan dengan kembali ke depan Mushola tadi. Berbeda saat berangkatnya tadi, kami harus melewati tanjakan untuk kembali ke atas. Sungguh tanjakan kecil dan curam. Nafas kami pun mulai sempat tersengal-sengal ketika menapaki tanjakan ini. Berangkatnya tadi sih enak, jalan turun,, lha sekarang?? Huiff,,

Tiba di depan Mushola, kami bertiga berpamitan denagn bapak-bapak forum dan berterimakasih telah bersedia mengantarkan kami. Kami berjabat tangan dan pulang bersama-sama. Sempat khawatir juga saat melewati jalan yang menukik tajam, curam, dan berkelok tadi yang mengharuskan saya menyuruh Hayu untuk berjalan kaki tadi. Kali ini kedua rem kumainkan agar laju kendaraan berkurang, dengan bacaan basmallah yang terus terucap dalam hati, ku lewati jalan yang menakutkan tersebut, dan Alhamdulillah aku bisa melewatinya… Legaaaa… suara klakson motor bapak-bapak forum melepas kepergian kami. Arah jalan pulang kami berbeda denagn mereka. Dan dari situ kami yang semula ber 8 hanya tinggal ber 3, Aku, Hayu, dan Mas Subekhi.

Berbeda saat berangkat tadi, jalan pulang kali ini terasa sangat cepat. Seneng rasanya bisa kembali menemukan aspal dan ini pertanda kalau medan perjalanan kami sudah tidak berat dan semakin mendekati kota. Ketika perjalanan pulang, mas Subekhi kembali memelankan laju motornya ketika bertemu dengan cewek yang menderita keterbelakangan mental yang berjalan di jalan. Beliau memberitahukan kepada kami kalo mau mengambil gambar, dan kami pun memarkirkan motor kami. Apa emang sudah bawaanya narsis ya cewek itu, ketika melihat kamera cewek tersebut langsung memasang gaya dan sadar kamera banget mendekati mas Subekhi. Aku dan hayu hanya bisa menahan tawa melihatnya. Cewek tersebut meminta uang ke mas Subekhi, dan beliau memberi kan uang 500. Lalu beliau pun meminta saya untuk memberi uang 1000 agar cewek ini tidak mengamuk, dan akhirnya cewek itu pun mendekati saya. sempat takut juga sih saat dia menunjuk cincin saya, kalo diminta lak  yo repot,,tapi setelah saya beri uang akhirnya cewek itu tersenyum dengan riangnya. Dan tidak berhenti samapi disini, cewek tersebut melirih Hayu yang berada dibelakang saya untuk dimintai uang. Dan hayu pun takut, alhasil saya berikan makanan ringan saya agar dia pergi. Dengan bergegas, kami meninggalkan cewek yang juga menderita bisu ini. Tapi ternyata si cewek memberi oleh-oleh berupa cowelan kepada Hayu saat kami sudah berada di motor!hahaha… Dan perjalanan pun selesai, sebagai penutupnya kami bertiga makan sore bersama sebagai pengganti makan siang yang terlewatkan.

Sungguh petualangan yang luar biasa di kampung idiot ini. Banyak pelajaran yang bisa ku ambil dari sini. Selain banyak-banyak mengucapkan syukur atas keadaanku sekarang ini, aku juga tahu bagaimana susahnya menjadi wartawan. Nyari berita seharian, tapi tayangnya cuma beberapa menit. Salut deh buat mas Subekhi. Makasih mas, sudah memberikanku pengalaman dan pelajaran berharga tentang hidup. Dan juga makasih Hayu sudah mau menemaniku seharian.

(Minggu, 17 Juli 2011, 23.48)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar